Duka di Gurusina Toraja

author photo

TORAJA -- Senin, (13/08/18) sekira 16.00 wita sore api melalap rumah adat bagian bawah kampung Megalitikum Gurusina. Dalam hitungan detik api langsung menyambar puluhan rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang dan bambu. Setidaknya 27 rumah adat, dan 6 rumah pendamping untuk upacara adat habis dilahap jago merah. Dari 33 rumah adat yang selamat hanya 6 ditambah rumah baca. Bagha adalah simbol leluhur perempuan sedangkan Ngadhu adalah simbol leluhur laki-laki

Sumber api dari mana? Apa penyebabnya masih diselidiki. Yang pasti datang dari salah satu rumah paling sudut bawah kampung. Diduga dari aliran listrik arus pendek. 

“Puji Tuhan tidak ada korban jiwa, hanya memang semua barang keseharian tidak bisa diselamatkan,” kisah pak Huber salah satu guru yang saya hubungi.

“Barang-barang pusaka beruntung ada yang terselamatkan, ada juga yang tidak, ”imbuhnya.


Saat kejadian, sebagian warga sedang keluar kampung mengikuti pertandingan bola dalam rangka memeriahkan HUT RI ke 73, sehingga di kampung tinggal lansia dan anak-anak. Api menjalar dengan sangat cepat karena rumah-rumah berdampingan dan seluruh bangunan terbuat dari kayu, bambu dan ilalang.

Kerugian belum bisa dihitung tetapi berdasarkan hitungan umum membangun rumah adat itu diperkirakan mencapai sekitar 200-300 juta belum termasuk biaya ritual tahapan pembuatan rumah adat dan tentu itu tidak murah.


"Masyarakat bertekad akan membangun kembali rumah adat agar kampung Gurusina tetap lestari. Tentu membutuhkan dukungan banyak pihak, terutama biaya. Kami mengharapkan pemerintah daerah dan pusat ikut memperhatikan kami. Kampung ini bukan kampung biasa, tapi kampung peninggalan nenek moyang untuk Indonesia," papar Hubert  

Untuk penanganan darurat, Pemda  sudah menyediakan tenda, logistik dan mengatur warga perempuan dan anak-anak di rumah penampungan dan akan ditangani selama satu pekan. Sementara para pria akan tinggal di tenda yang diidrikan di tengah-tengah kampung. 


pendirian tenda ini bisa dilakukan setelah adat menggelar upacara yang dinamakan Zezoapi, sebuah upacara tolak bala dimana warga seluruhnya bersepakat untuk saling memaafkan. 
Masyarakat Gurusina sangat pemaaf, semua sepakat tidak akan mencari siapa penyebab menjalarnya api, melainkan untuk menguatkan diri bahwa bencana, kemarahan harus ditolak agar tidak datang lagi.

“Kalau dulu, upacara Zezoapi itu untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran. Dan setelah ketauan sumbernya, semua warga menghukum bahkan tidak jarang sampai lari keluar kampung. Tapi di Gurusina tidak, semua sepakat memaafkan,” cerita Mama Elo yang memiliki nama lengkap Vero Ule.
Upacara Zezoapi ini sedianya dilakukan ditengah-tengah kampung dengan memotong satu ekor kerbau. Biasanya, setelah melakukan upacara Zezoapi pimpinan adat memberi ijin pada warga untuk tinggal sementara dimana. “Tapi selama belum dilakukan upacara adat, warga tidak boleh keluar kampung, semalam semua tidur di tengah-tengah kampung mendirikan tenda seadanya,” kata Mama Elo.

Malam pertama kejadian warga seluruhnya berkumpul di tengah-tengah kampung karena memang adat mengatur demikian tidak boleh ada yang meninggalkan kampung sebelum ada ritual. “Karena secara adat belum boleh mengungsi dulu sebelum benar-benar api padam,” kata Hubert.

Yang pasti pakain sekolah anak-anak, buku, sepatu tidak ada yang selamat semua habis terbakar. Warga membutuhkan makanan, susu, pakaian, selimut dan terutama bagaimana membangun kembali rumah adat.

“Rumah adat ini harus kembali terbangun, mohon teman-teman bantu. Bukan saja soal membeli kayu dan paku tapi membangun nilai dari setiap rumah ini yang mahal. Semoga pemerintah memperhatikan musibah ini,” pinta pak Hubert dan pak Guru Poli.

Kampung Megalitikum Gurusina


Kampung Gurusina adalah salah satu kampung adat yang terletak di kaki gunung Inerie, sekitar 21 km dari Kota Bajawa tepatnya di Kecamatan Jerebu'u. 33 rumah berbaris melingkar mengelilingi batu-batu megalitikum dan di tengah lapangan terdapat 3 bangunan pondokan kecil bernama Baga dan tiga rumah adat mini bernama Ngadu.

Setiap rumah terbuat dari kayu dan bambu, beratapkan ilalang. Diatap rumah terdapat hiasan rumah sebagai tanda rumah utama dan pada bagian depan terdapat susunan tanduk kerbau seperti rumah-rumah Toraja. Tanduk Kerbau ini melambangkan kejayaan dan kebesaran akan harta dan kekayaan setiap warga penghuni rumah adat ini.

Dan pada setiap pintu rumah, terdapat ukiran kayu dengan nama rumah. Di semua bangunan tidak semen, melainkan menggunakan bambu dan kayu.

Warga kampung Gurusina rata-rata bertani kopi, kemiri dan padi. Sebagian perempuan menenun lawo bermotif jara.
Saya beberapa kali ke Kampung Gurusina dan terakhir Agustus 2017. Di Kampung ini saya mendirikan Rumah Baca Akar yang kami beri nama Sao (rumah) Baca Akar. Saya bukan orang Flores, tapi membantu mereka dekat dengan buku adalah kebahagiaan.

Dan kabar duka ini menjadi kabar duka bagi saya, karena mereka semua sudah seperti keluarga bagi kami.

Untuk bangunan rumah adat ini biayanya tidak sedikit, karena bukan soal membeli kayu dan paku tapi ritual setiap pendirian rumah biayanya tidak sedikit. Saya dan teman-teman di Gurusina berharap bantuan dan kehadiran pemerintah untuk kembali mendirikan rumah adat agar warisan tetap lestari.

Warm Regards,
Nury Sybli
Senior Consultant.

HP: 081212721319
Komentar Anda

Berita Terkini