Pemkot Jambi Mengadakan Pertemuan Terkait Penyegelan 3 Gereja

author photo

JAMBI    ~ Pemerintah Kota (Pemko) Jambi telah melakukan penghentian sementara aktivitas ibadah di dalam gereja pada 3 Gereja di Jambi, yakni (gereja) GSJA, HKI dan GMI di Kota Jambi, Jumat (28/9) yang lalu.

BACA JUGA : DPP Horas Bangso Batak Menyesalkan atas Sikap Penyegelan Rumah Ibadah di Jambi

Terkait penghentian tersebut, Pemerintah Kota Jambi mengadakan pertemuan dengan pihak terkait, di Kantor Walikota Jambi, Sabtu (29/9/18).
Dilansir dari pemberitaan dinamikajambi.com, Wali Kota Jambi Syarif Fasha, melalui Sekretaris Daerah Kota Jambi, Budidaya menyampaikan beberapa hal, yakni sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota Jambi menegaskan bahwa, kebebasan menjalankan ibadah adalah hak konstitusional warga yang dijamin oleh UUD. Dan dalam rangka menjalankan hak konstitusional warga tersebut, Pemerintah wajib melindungi warganya termasuk memberi rasa aman bagi semua pemeluk agama.

2. Pemerintah Kota Jambi melakukan penundaan penggunaan sementara rumah ibadah milik GSJA, HKI dan GMI, untuk menghindari terjadinya konflik horizontal ditengah masyarakat. Yang berawal dari 3 kali surat keberatan masyarakat setempat dan aksi massa di lapangan. Serta terakhir surat tertanggal 24 September yang akan menggelar demo besar-besaran.

3. Sebelumnya Pemerintah Kota Jambi sudah menggelar rapat mediasi dengan pihak-pihak terkait. Rapat dilanjutkan dengan di mediasi Forum Komunikasi Ummat Beragama (FKUB) yang berlangsung pada tanggal 26 September 2018 di Balai Adat Tanah Pilih Pusako Batuah, yang dihadiri unsur Pemerintah Kota Jambi, Ketua MUI, Ketua Lembaga Adat Melayu Kota Jambi, Polresta Jambi, Kodim 0415/Bth, unsur Binda, unsur Kejari Jambi, Kapolsek Kotabaru, Koramil Telanaipura, Camat Alam Barajo, Lurah Kenali Besar, Tokoh/Perwakilan Umat Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, Jemaat Gereja, serta unsur masyarakat setempat. Rapat musyarawah Forum Komunikasi Umat Beragama tersebut menghasilkan kesepakatan untuk dilakukan penghentian sementara pengunaan rumah ibadah tersebut sampai situasi kondusif.

4. Terkait hal tersebut, Pemkot bersama Polresta Jambi dan Kodim 0415/Bth tetap memfasilitasi kegiatan ibadah rutin jemaat tersebut sambil melakukan mediasi dan musyawarah lebih lanjut yang akan di fasilitasi Pemkot Jambi, pada hari Senin lusa tanggal 1 Oktober 2018.

Budi Daya Hadi mengatakan bahwa dirinya, dan pihak terkait memperkenankan jemaat dari Gereja Methodist Indonesia (GMI) Kanaan, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan Huria Kristen Indonesia (HKI), untuk beribadah di halamannya. Hingga ada solusi terbaik yang disepakati bersama.


“Kita sudah menawarkan lokasi lain untuk beribadah Minggu besok. Namun mereka menolak dan tetap ingin beribadah di depan gereja. Ya kita dengan pihak terkait sepakat asalkan tidak beribadah di dalam gereja sampai ada solusi yang terbaik,” katanya seperti dikutip dari Gatra.com. 

Pernyataan Sekretaris Umum PGI Prihal Penutupan Paksa 3 Gereja di Jambi.

Tiga Gereja yakni HKI, GMI, dan GSJA yang berada di Kelurahan Kenali Barat, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi disegel oleh pemerintah setempat pada 27 September 2018 pagi. Penyegelan yang disertai dengan pelarangan ibadah di ketiga gedung gereja tersebut merupakan tindak lanjut dari sebuah  pertemuan antara FPI, FKUB, MUI, Lembaga Adat Melayu, dan Pemerintah Kota Jambi, yang tidak melibatkan pihak gereja dalam pertemuan tersebut.

Terhadap tindakan penyegelan dan pelarangan beribadah di gedung gereja tersebut, perkenankan saya menyampaikan:

1. Keprihatinan mendalam atas masih terjadinya aksi-aksi pelarangan ibadah dengan alasan teknis administratif menyangkut perizinan. Keprihatinan ini makin mendalam karena Pemerintah setempat yang seharusnya berfungsi untuk memfasilitasi umat beribadah —apa pun agamanya—  malah terlibat dalam upaya penyegelan dan pelarangan ibadah di gedung gereja tersebut.

2. Kebebasan menjalankan ibadah adalah hak konstitusional warga yang dijamin oleh UUD. Dan dalam rangka menjalankan hak konstitusional warga tersebut, tentulah dibutuhkan tempat untuk beribadah, yang untuk umat Kristen berupa gedung gereja. Ketiga jemaat tersebut telah lama memiliki gedung gereja masing-masing. Dan sebagai warga negara yang taat hukum, mereka sudah sejak lama mengupayakan pengurusan IMB rumah ibadah seturut dengan regulasi yang ada. Namun oleh berbagai alasan yang tak masuk logika hukum, ketiganya —sama seperti ratusan gereja di tempat lain— tidak kunjung memperoleh IMB tersebut. Namun demikian ketiganya bukannya mengabaikan izin lingkungan, bahkan berinteraksi baik dengan masyarakat di sekitar gedung gereja selama bertahun-tahun belakangan ini.
Ketiga gereja tersebut sudah lama berdiri di sana dan tidak pernah melakukan gangguan terhadap masyarakat sekitar, baik berupa suara yang melebihi kepatutan maupun kegaduanan lainnya.

3. Saya merasa prihatin kalau penyegelan dan pelarangan ibadah di gedung gereja seperti ini terus terjadi hanya karena tekanan dari massa yang dimobilisasi. Saya menuntut aparat negara di berbagai aras untuk aktif menjalankan tugasnya memfasilitasi dan melindungi hak-hak masyarakat untuk menjalankan kewajiban ibadahnya, dan jika mendapat penentangan dari masyarakat lain, adalah tugas negara mendidik dan mencerdaskan masyarakat untuk dapat menerima dan menghargai keberadaan umat lain yang berbeda agamanya, termasuk menerima kehadiran ekspresi peribadahannya sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Sebagaimana disebutkan di atas, sekali pun mereka belum memiliki IMB, itu bukanlah karena faktor kesengajaan mereka tetapi lebih karena faktor-faktor di luar kemampuan mereka, yang seharusnya difasilitasi dan diselesaikan oleh aparat pemerintah setempat.

4. Kebebasan beribadah adalah bagian dari Hak Azasi Manusia yang tidak dapat dikurangi oleh alasan apa pun (non derogable) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 1, dan olehnya, saya menuntut negara untuk sesegera mungkin mengimplementasikannya kepada ketiga gereja  tersebut di atas berikut gereja-gereja lain yang mengalami nasib sama di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

5. Saya menuntut para pemimpin umat beragama dan pemimpin lembaga masyarakat di berbagai aras, terutama yang berada di Kota Jambi untuk mendidik umatnya beragama dengan cerdas dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, dan tidak mengedepankan kehendak dengan mengandalkan kekuatan massa dan suara. Kenyataan kemajemukan Indonesia mengharuskan kita untuk dapat saling menerima dan menghargai di tengah perbedaan yang ada, termasuk menerima dan menghargai kehadiran gedung gereja, yang merupakan ekspresi dari kebebasan agama yang dijamin okeh Undahg-undang. Menurut saya, sudah tak saatnya lagi para pemimpin agama hanya duduk berdiskusi dalam basa-basi lintas iman, tetapi dalam kenyataannya di lapangan, para pemimpin umat membiarkan umatnya berlaku intoleran dan mengandalkan kekuatan suara dan massa yang jauh dari keadaban publik, seraya menistakan hak beribadah umat lain yang sangat hakiki.

Kiranya rasa takut kepada Tuhan, dan kesetiaan pada amanat konstitusi, kita semua dapat membangun Indonesia yang lebih beradab dan berkemajuan, melebihi kepentingan-kepentingan sektarian, dan apalagi kepentingan sesaat dalam rangka kontestasi pilkada, pileg maupun pilpres.

Sumber:
Sekretaris Umum PGI,
Pdt. Gomar Gultom
Komentar Anda

Berita Terkini