Published : Wilson Lalengke
Editor : Redaksi
Sumber : PPWI
JAKARTA -
Media Kabarbangka.Com mempublikasikan berita tentang daftar 57 calon kabupaten
baru dan 8 calon provinsi baru tertanggal 21 Juni 2019. Berita itu kemudian
direspon sehari kemudian oleh Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa informasi tersebut tidak
benar alias bohong. "Kabarbangka.com telah menyebarkan Hoax Daerah
Pemekaran. Hoax tersebut memfitnah institusi Kementerian Dalam Negeri dalam hal
ini telah mengaku mendapat rilis resmi dari Puspen Kemendagri. Padahal, rilis
tersebut tidak pernah ditulis dan disebarkan Puspen Kemendagri." Demikian
rilis yang dapat dibaca di situs resmi Kemendagri.go.id.
Rilis
Puspen Kemendagri selengkapnya di sini:
https://www.kemendagri.go.id/blog/31749-Kabarbangkacom-Telah-Menyebarkan-Hoax-Daerah-Pemekaran
Lebih jauh, pihak Kementerian menganggap bahwa pembuatan dan
publikasi berita bohong tersebut dianggap sebagai kejahatan, dan akan
dilaporkan ke Dewan Pers untuk diproses sesuai mekanisme yang berlaku. "Segera kami
laporkan ke Dewan Pers. Media tersebut telah melakukan kejahatan, mengarang dan
menyebar fitnah," tegas Bahtiar Baharudin, Kepala Pusat Penerangan
Kementerian Dalam Negeri.[cut]
Romlan, selaku pimpinan
redaksi Kabarbangka.Com, telah mengaku khilaf dan meminta maaf atas kesalahan
tersebut. Dirinya juga sudah menghapus isi berita bohong atau populer disebut
hoax itu dari situs media Kabarbangka.com dan menggantinya dengan ungkapan
permintaan maaf kepada publik, Kementerian Dalam Negeri serta DPR-RI.
Langkah kesatria
mengakui kesalahan dan meminta maaf sang pemimpin redaksi Romlan tentu patut
diapresiasi. Penulis secara pribadi, dan organisasi PPWI (Persatuan Pewarta
Warga Indonesia) sangat menghargai sifat baik untuk mengakui kesalahan dan
meminta maaf kepada publik dan para pihak terkait yang merasa dirugikan. Semoga
ketulusan hati dan permintaan maaf itu dapat dipertimbangkan oleh para pihak,
seperti Kementerian Dalam Negeri, DPR-RI dan Dewan Pers.
Namun begitu, kasus
Romlan dan Kabarbangka-nya itu tidak dapat dilihat sepintas lalu saja sebagai
hal yang lumrah, dan dibiarkan berlalu tanpa makna. Kasus ini sesungguhnya
sangat krusial dan fenomenal, ia ibarat titik puncak kecil gunung es yang
tampak di permukaan air saja. Persoalan substansial yang amat besar, yang
selama ini tenggelam di bawah permukaan, semestinya dikeker dan dicarikan
solusinya oleh semua kalangan, terutama pemangku kewenangan terkait media massa
dan pemberitaan.
Harap diketahui bahwa Romlan itu adalah pemegang Sertifikat
Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan
ditandaptangani oleh Ketua Dewan Pers. Seorang wartawan utama, tentulah sudah
melewati berbagai pelatihan dan praktek serta pengalaman bermedia-massa dan
melakukan tugas jurnalistik yang cukup panjang. Romlan sudah pasti melangkah
dari tahap sertifikasi wartawan pemula, wartawan madya, untuk kemudian
mengikuti ujian kompetensi wartawan utama.[cut]
Berdasarkan fakta tersebut, patutlah kita berasumsi bahwa
pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan, yang oleh banyak pihak dianggap
sebagai kebijakan “memandai-mandai”, meminjam istilah orang Sumatera, selama
ini banyak menyimpan masalah dan penyimpangan. Seorang rekan wartawan senior
Metro-TV beberapa waktu lalu menyatakan enggan mengikuti Uji Kompetensi
Wartawan (UKW) karena menurutnya, dia adalah sarjana ilmu komunikasi dari
perguruan tinggi ternama di Surabaya, plus sudah mengikuti magang yang ketat,
plus (lagi) pengalaman sebagai wartawan di berbagai posisi yang cukup lama.
Sementara, kata dia lagi, penguji UKW itu adalah orang-orang yang tidak paham
jurnalistik, atau jikapun penguji adalah orang media, ilmu mereka sudah
out-of-date alias kedaluwarsa, tidak sesuai dengan kemajuan zaman.
Dari informasi yang terhimpun, Romlan diduga hanyalah tamatan
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan tingkat pendidikan yang demikian itu,
sangat dapat diprediksi kemampuan jurnalisme yang bersangkutan. Anehnya, PWI
dan Dewan Pers tidak hanya memberikan kelulusan sebagai wartawan utama, tetapi
juga mempercayakan yang bersangkutan menjadi salah satu penguji UKW. Keadaan
itu menandakan bahwa sangat patut diduga dalam proses UKW itu ditumpangi oleh
kepentingan pribadi para oknum terkait, seperti oknum di institusi PWI, oknum
Dewan Pers dan yang bersangkutan sendiri.
Dari situs media Kabarbangka.com, kita juga dapat melihat bahwa
media ini sudah diverifikasi dan mendapatkan Sertifikat Dewan Pers. Selama ini,
publik memahami sertifikat Dewan Pers yang diberikan kepada sebuah institusi
media massa sebagai stempel halal bagi media tersebut melakukan kerja-kerja
jurnalisme. Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sajian media
berstempel halal dari Dewan Pers merupakan makanan sehat dan halal bagi masyarakat.
Dengan pemahaman seperti itu, publik dapat menilai kondisi media
Kabarbangka.com yang dihalalkan oleh Dewan Pers, baik secara fisik tampilan
atau desain media yang amat sederhana maupun dari isi pemberitaannya.
Mempublikasikan berita bohong dan mencatut nama lembaga negara di tingkat pusat
memerlukan keberanian liar yang luar biasa bagi seorang jurnalis. Mungkin
sekali, keberanian semacam ini yang dinilai Dewan Pers sebagai sesuatu yang
layak dijadikan indikator kelulusan sebuah media massa untuk diberikan
sertifikat halal.
Benar, semua orang bisa salah, bisa khilaf, bisa alpa. Setinggi
apapun tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat keprofesionalan dan
kehandalan seseorang; pun setinggi apapun tingkat moralitas seseorang, ia dapat
saja sewaktu-waktu tergelincir dalam kesalahan. Demikian juga dalam persoalan
jurnalisme. Wartawan legendaris bisa salah, seperti juga wartawan pemula. Media
sekelas Jawa Pos juga bisa tersandung masalah pemberitaan bohong seperti pada
kasus publikasi terkait berita hoax ketidak-netralan TNI tempohari.[cut]
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
kekeliruan dalam pemberitaan dapat saja terjadi oleh siapapun, kapanpun, di
media manapun. Sepanjang khilaf dan alpa masih menjadi bagian manusiawi dari
manusia, maka kesalahan publikasi media massa, apalagi media sosial, sangat
mungkin terjadi di mana-mana. Terlebih lagi bicara informasi, yang tiada satu
informasipun di dunia ini yang bebas nilai, bebas kepentingan, imparsial
seratus persen. Informasi juga, selengkap apapun, sedetil apapun, seprofesional
apapun, secanggih apapun pengerjaannya, pasti tetap mengandung “error” atau
kesalahan. Hasil penelitian ilmiah bidang ilmu pasti saja tidak bebas dari
faktor margin error.
Level wartawan utama tidak menjamin pemiliknya mampu bekerja
profesional, handal, dan kredibel sesuai predikat sertifikasi yang
disandangnya. Stempel halal media massa yang diberikan Dewan Pers bukan jaminan
bahwa media tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebuah institusi media
harapan publik. Sertifikat UKW dan tanda verifikasi media hanya kertas mati,
yang tidak mutlak dijadikan referensi untuk menentukan keprofesionalan dan
kredibilitas seorang jurnalis dan sebuah media.
Kenyataan itu bukan berarti perlu dibiarkan, dibiasakan, dan
dinihilkan begitu saja. Proses perbaikan harus tetap menjadi perhatian dan
dilakukan sepanjang hayat. Dalam setiap tahapan jurnalistik, semestinya
peningkatan kualitas keakuratan, kefaktual-an dan keterkinian informasi menjadi
mutlak. Untuk itulah, sifat taat azas wajib menjadi ruh yang berdiam dan tumbuh
di dalam setiap orang, terutama setiap pewarta dan jurnalis. Prinsip 5W+1H
misalnya, harus menjadi landasan suci yang menjadi rujukan setiap
informasi/berita yang akan disampaikan oleh setiap pembawa berita, bahkan oleh
semua orang. Prinsip check and recheck menjadi sangat penting agar keakuratan
dan ke-valid-an setiap informasi dapat ditingkatkan. Demikian juga dasar
filosofi penyebaran informasi 3B, yakni Benar, Baik, dan Bermanfaat, harus menjadi
nafas kehidupan bagi semua orang, terutama yang berkarya di bidang jurnalisme.
Kembali ke kasus Romlan dengan Kabarbangka-nya, kiranya puncak
gunung es itu menjadi catatan dan evaluasi bagi para pemangku kepentingan
bidang pers, terutama Dewan Pers yang saat ini dipimpin oleh seorang mantan
Menteri Pendidikan. Kebijakan UKW yang sudah dijalankan hampir 10 tahun
terakhir ini, ditambah verifikasi media, oleh Dewan Pers, telah digugat ke PN
Jakarta Pusat oleh masyarakat pers beberapa waktu lalu. Hasilnya, gugatan
ditolak. Sesungguhnya salah satu esensi gugatan itu adalah bahwa kebijakan
Dewan Pers itu telah mendegradasi hasil pendidikan formal kesarjanaan dan
pengalaman profesionalitas ribuan wartawan selama ini. Demikian juga dengan
verifikasi media yang telah melahirkan diskriminasi massif, yang salah satunya
adalah kekeliruan pemahaman tentang konsep hakiki tentang media massa sebagai
alat penyampai pesan antara komunikator (pengirim pesan) dan komunikan
(penerima pesan).
Kekeliruan kebijakan Dewan Pers itu menjadi terstruktur dan
sistemik ketika para pemangku kepentingan di daerah-daerah mengaminkannya.
Perlakuan diskriminatif terhadap wartawan yang adalah rakyatnya si pemda
sendiri, dan media massa yang ada di daerahnya, menjadi pemandangan sehari-hari
di hampir setiap sudut negeri ini. Di kalangan aparat negara seperti Polri dan
TNI, kondisinya ibarat istilah para milenials 11-12 dengan institusi pemda.
Bahkan, TNI mewajibkan wartawan yang berminat untuk mengikuti lomba menulis
tentang TMMD harus memiliki sertifikat UKW dan medianya terverifikasi.
Di dunia bisnis, lebih parah lagi. Nasib wartawan ibarat tinggal
di Afrika Selatan jaman apartheid, ada kulit putih (ber-UKW) dan kulit hitam
(non-UKW). Jika Anda kulit hitam, jangan sekali-kali berlaku kritis terhadap
para pengusaha. Jika ditemukan pemberitaan faktual namun kritis terhadap sebuah
perusahaan di medianya, jeruji besi menjadi kamar kematian Anda. Dewan Pers
akan dengan mudah tersenyum berlepas tangan hanya dengan alibi “Yang
bersangkutan belum UKW dan atau medianya tidak terverifikasi Dewan Pers,
silahkan masukan ke penjara”.
Lebih dari semua uraian di atas, yang paling penting untuk
dievaluasi oleh Pengurus Dewan Pers yang baru di bawah M. Nuh sebagai ketuanya,
adalah bahwa kebijakan UKW dan verifikasi media itu bertentangan dengan
semangat yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dari keseluruhan 21 pasal yang ada di Undang-Undang Pers tersebut, tidak
ditemukan satu pasalpun yang secara tegas alias tidak ambigu dapat dijadikan
payung hukum pelaksanaan UKW dan verifikasi media. Justru yang terjadi adalah
bahwa penerapan kebijakan UKW dan verifikasi media merupakan pembangkangan
terhadap pasal 2, 3, 4, 6, 8, 9, dan pasal 15 UU Pers.
Langkah kongkrit yang perlu diambil sebagai respon atas kasus
Romlan dan Kabarbangka.com, dikaitkan dengan kebijakan UKW dan verifikasi media
adalah melakukan moratorium atas kebijakan tersebut, diikuti dengan audit
menyeluruh terhadap UKW dan verifikasi media selama ini. Audit itu tidak saja
meliputi keuangan negara yang digunakan pengurus Dewan Pers, namun juga
terhadap SDM (wartawan) dan media yang telah tersertifikasi. Auditing SDM itu
penting untuk mengukur tingkat keberhasilan program UKW dan sertifikasi yang
sudah dicapai, apakah berbanding lurus atau tidak dengan pengeluaran anggaran
negara yang sudah digunakan selama ini.
Penulis :
Wilson Lalengke, adalah Ketua Umum PPWI, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI, Lulusan
Pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University Inggris dan
Applied Ethics dari konsorsium Utrecht University Belanda dengan Linkoping
University Swedia, Sekjen Kappija-21 (Keluarga Alumni Program Persahabatan
Indonesia Jepang Abad 21)